..::Majalah Potret Indonesia ::..

SUARA RAKYAT

Gaji Pejabat Melangit, Rakyat Menjerit


Masa Jabatan Presiden-wakil Presiden SBY-JK usai sudah, pelantikan pasangan presiden dan wakil baru, SBY-Boediono, pun digelar pada 20 Oktober 2009. Berikutnya, adalah pelantikan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II pada 21 Oktober 2009. Kurang dari 24 jam setelah para menteri dilantik, tepatnya 22 Oktober 2009, Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi langsung mengajukan usulan kenaikan gaji bagi para pejabat Negara.

Berdasarkan pasal 11 UU 43 Tahun 1999 mengenai Pokok-pokok Kepegawaian, yang disebut penguasa atau pejabat Negara adalah: Presiden dan Wakil Presiden, Pimpinan dan Anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan Anggota MA, serta Pimpinan Badan Peradilan, Pimpinan dan Anggota BPK, Para Menteri dan Pejabat setingkat Menteri, para Duta Besar RI, Gubernur dan Wakil Gubernur, dan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota.



Selain mendapat kenaikan gaji, para pejabat Negara pun akan mendapat mobil dinas baru. Sebelumnya mobil dinas yang ada adalah Toyota Camry seharga 600 jutaan, diganti dengan mobil mewah Toyota Crown Majesta yang harganya ditaksir mencapai 1,8 milyar. Selain itu, fasilitas perjalanan dinas dan akomodasi kabarnya juga akan dinaikkan. Sungguh angka yang demikian besar, mengingat gaji dan fasilitas tersebut berasal dari uang rakyat.


Sebenarnya, saat ini para pejabat sudah mendapat gaji dan fasilitas yang cukup besar. Gaji Presiden RI Rp 62,7 juta perbulan, sementara untuk wapres sebesar Rp 42 juta perbulan. Merekapun masih mendapatkan tunjangan, rumah dinas, mobil dinas, dsb. Sementara gaji para menteri saat ini memanglah tak seberapa, hanya sekitar 5 jutaan. Namun mereka mendapat tunjangan dan dana taktis yang cukup besar.

Tunjangan yang diperoleh sebesar Rp 13.600.000 serta dana taktis Rp 150 juta perbulan yang tidak perlu dipertanggungjawabkan. Para menteri pun masih mendapat mobil dinas dan rumah dinas, serta empat orang staff khusus dengan gaji per orang sebesar Rp 15 juta, sopir bergaji antara Rp 5-10 juta, ditambah fasilitas berupa pakaian senilai Rp 20-25 juta.

Ketika para pejabat sudah hidup mewah, lain halnya dengan rakyat kecil yang tetap melarat meski sudah berkali-kali mereka memilih pemimpin baru. Menurut data BPS bulan Maret 2009, saat ini terdapat 32,5 juta penduduk miskin Indonesia dengan penghasilan kurang dari Rp 6.675/hari.

Termasuk diantaranya sebagian pegawai honorer dan pegawai negeri sipil. Namun, jika yang dipakai adalah standard Bank Dunia, dimana penduduk dikatakan miskin jika penghasilannya tidak lebih dari 2 dolar perhari maka akan ada 100 juta lebih rakyat miskin di Indonesia.

Tak cukup sampai disini, rakyat miskin pun masih dibebani oleh tingginya biaya pendidikan dan kesehatan, banyak anak yang terpaksa putus bahkan tidak bisa sekolah, banyak rakyat yang dipersulit dan ditelantarkan oleh rumah sakit karena ketiadaan biaya.

Harga kebutuhan pokok yang terus melonjak hingga tak terbeli sehingga sebagian rakyat terpaksa makan nasi aking, makan jamur liar sehingga keracunan, bahkan ada yang kekurangan gizi dan menderita busung lapar.

Dibangun atas Presfektif Demokrasi


Demokrasi yang terkenal dengan prinsip kedaulatan rakyat serta slogan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” sekilas cukup menjanjikan kesejahteraan dan kemajuan, apalagi jika diterapkan di Negara yang mayoritas penduduknya miskin seperti Indonesia. Bagaimana tidak, demokrasi memberi peluang kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya, menyalurkan keinginan dan tujuan hidupnya, termasuk untuk mendapatkan kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan kehidupan.

Rakyat juga diberi peluang untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin dalam upaya merealisasikan aspirasi dan keinginan masyarakat banyak. Dan yang terakhir, masyarakatlah yang akan merasakan hasil-hasil dari realisasi aspirasinya. Semua itu adalah karena rakyat yang memiliki kedaulatan, rakyat yang berhak menentukan nasibnya sendiri.

Demokrasi juga mengambil konsep trias politika, dimana kekuasaan dipisahkan antara legislatif (pembuat Undang-undang), eksekutif (pelaksana Undang-undang), serta yudikatif (lembaga peradilan). Ketiganya merupakan lembaga independen dan meminimalkan munculnya tirani penguasa yang akan merugikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Sungguh demokrasi terlihat sempurna sebagai sebuah panduan kehidupan bernegara.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Aspirasi memang berasal dari rakyat, begitu juga dengan pemimpin yang memang dipilih oleh rakyat. Akan tetapi, untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin tidaklah mudah dan murah. Rakyat harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk itu. Rakyat harus menyelenggarakan pemilu dengan biaya yang mahal, dan bahkan kadang harus diulang karena ada dugaan kecurangan serta ketidakpuasan dari salah satu kandidat.

Sebagaimana yang terjadi di Pilkada Jatim tahun lalu. Para kandidat pun masih harus mengeluarkan modal yang tidak sedikit untuk biaya kampanye serta untuk memuluskan mereka melangkah ke kursi jabatan. Walhasil, karena sudah mengeluarkan uang untuk mendapat jabatan, mereka pun menginginkan balik modal ketika berkuasa. Sementara urusan rakyat menjadi nomor sekian. Itulah, demokrasi memang system yang boros dan korup.

Demokrasi juga menyuburkan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha. (pemilik modal). Para pengusaha inilah yang selanjutnya menguasai ketiga lembaga Negara demokrasi, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Tak bisa dipungkiri bahwa sumber dana kampanye kandidat-kandidat pemilu salah satunya berasal dari pengusaha. Yang pastinya tidak gratis alias harus ada balas jasa dari kandidat yang berhasil menjadi penguasa, yang berupa kebijakan-kebijakan yang memuluskan bisnis mereka. Para pengusaha inilah yang sebenarnya menjadi sumber aspirasi dalam demokrasi.

Sudah banyak Undang-undang yang dibuat dengan mengatasnamakan rakyat tapi justru mangabaikan kepentingan rakyat. Sudah banyak kebijakan yang dibuat pemerintah hanya menguntungkan kaum korporat. Kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyat juga tidak bisa dijerat dengan hukum, karena lembaga yudikatif dapat dengan mudah disuap untuk menutup mata atas pelanggaran eksekutif. Jadilah Negara ini Negara penguasa dan pengusaha, Negara birokrasi dan korporasi. Dan yang merasakan “nikmatnya” demokrasi hanyalah penguasa dan pengusaha, bukan rakyat.

Bertentangan dengan Syariah

Pertama, demokrasi merupakan sistem yang batil dan kufur. Dia lahir dari asas sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang merupakan jalan tengah untuk mengatasi perselisihan yang berlarut-larut antara pihak gereja dan para cendekiawan barat pada abad pertengahan. Demokrasi dengan prinsip kedaulatan rakyatnya telah menimbulkan bencana baru bagi manusia. Akal manusia yang serba terbatas dijadikan sebagai tuhan dan diberi wewenang untuk mencari penyelesaian masalah bagi kehidupan manusia.

Sehingga wajar dalam system demokrasi undang-undang sering diubah-ubah agar tetap relevan dengan perkembangan zaman dan tidak ada standard baku mengenai baik buruk atas perilaku manusia. Karena kedaulatan di tangan rakyat pulalah parlemen dan eksekutif dapat dengan mudah mengubah undang-undang sekehendak hatinya untuk melegalkan pengabaian urusan rakyat, tentunya selama hal ini memberi keuntungan materi maupun politis kepada penguasa.

Selama system ini diterapkan, tidak ada jaminan bahwa orang-orang di dalamnya akan terbebas dari penghambaan terhadap manusia lainnya. Sudah terbukti, bahwa ketika uang bicara, apa saja bisa dipesan, siapa saja bisa dibeli.

Berbeda halnya dengan Islam yang merupakan satu-satunya ideologi Illahiyah, yang berasal dari Dzat yang Maha Sempurna. Islam menetapkan bahwa kedaulatan ada di tangan syara’, bukan di tangan manusia. Dan tidak seorang pun berhak bersekutu dengan Allah, Sang Pemilik Kedaulatan, dalam menetapkan undang-undang. Allah swt berfirman:

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS al An’am [6]: 57).

Selain itu, Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh Rasulullah SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja yang dilarangnya.

“Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul kepada kalian, laksanakanlah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah” (QS al-Hasyr [59]: 7).

Dengan demikian, syariah menjadi patokan baku atas perbuatan manusia dalam kehidupan dan akan selalu relevan dengan perkembangan zaman. Sehingga penguasa yang melalaikan urusan rakyat bisa dihentikan kedzalimannya, baik dengan cara muhasabah (mengoreksi penguasa) maupun diseret ke pengadilan dan diberhentikan dari posisinya. Karena kedaulatan ditangan syara’ pulalah jual beli undang-undang bisa dihapuskan. Sehingga manusia benar-benar hanya menghamba kepada Allah semata dan menyelamatkan manusia dari siksa di akhirat kelak.

Kedua, menumbuhsuburkan penguasa tiran. Demokrasi secara faktual merupakan alat para pemodal untuk memuluskan bisnisnya. Sehingga tidak mengherankan bila para penguasa berdiri di garda terdepan untuk membela kepentingan para kapitalis tersebut. Mengingat para kapitalis lah yang menjadikan mereka berkuasa.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan tuntunan Islam, dimana jabatan/kekuasaan adalah amanah yang sangat berat pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak, sehingga bukanlah posisi yang layak diperebutkan dengan penuh ambisi. Penguasa juga merupakan pelayan yang harus siap memenuhi segala keperluan rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda:
Imam (pemimpin) adalah pelayan, maka dia bertanggungjawab terhadap terhadap urusan rakyatnya” (HR Imam Ahmad dan Bukhari).

Oleh karena itu, para penguasa dituntut usaha maksimalnya dalam pengurusan rakyat. Ketika penguasa berlepas diri dari pelayanan terhadap rakyat maupun berpihak pada segelintir konglomerat, maka hal ini merupakan pengkhianatan sekaligus pengingkaran terhadap tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

“Pengkhianatan yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya” (HR ath-Thabrani).

Ketiga, melanggengkan agenda penjajahan asing. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kenaikan gaji pejabat adalah upaya terselubung untuk membungkam kekritisan pejabat terhadap kebijakan pemerintah selama lima tahun mendatang yang dipastikan akan lebih liberal daripada sebelumnya, seperti peningkatan privatisasi, menambah utang luar negeri, yang memang sudah dirancang sedemikian rupa melalui UU yang disahkan oleh DPR periode lalu.

Apalagi, dengan melihat komposisi kabinet Indonesia Bersatu II yang mempertahankan wajah-wajah lama pro neolib dan memunculkan wajah baru pesanan asing. Pastinya Indonesia akan semakin tunduk pada agenda panjajahan Barat.

Islam melarang setiap jengkal upaya kaum muslimin untuk menjerumuskan diri pada cengkeraman orang-orang kafir, baik berupa keberpihakan pada kepentingan asing maupun menyerahkan urusan kita sesuai dengan arahan asing. Allah berfirman:

“Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin” (QS an-Nisa’ [4]: 141).

Dengan demikian, kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji para pejabat negara tidak akan membawa perbaikan pada nasib rakyat dan justru akan membuat rakyat semakin menderita.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb

Nurwati; Ibu rumah tangga & aktivis dakwah, Tinggal di Citayam-Bogor

0 comments:

 
Potret Indonesia, Alamat Redaksi : Jl.Kebon Manggis 1 No.5 Matraman - Jakarta Timur